Review Buku "TOTAL BUNG KARNO" By Roso Daras
Buku Total Bung Karno, adalah buku terbaru tentang bung Karno yang terbit yang ditulis oleh Roso Daras seorang pengagum ajaran-ajaran Bung Karno yang sejak tahun 2009 telah menulis hampir 500 kisah dan tulisan tentang Bung Karno dalam blognya Roso Daras - Saya dan Bung Karno. Tulisan-tulisan dalam blognya itulah yang kemudian dibukukan
Buku ini sendiri sebenarnya merupakan gabungan dari 3 buku karya Roso Daras yang sebelumnya pernah diterbitkan yaitu dua buku seri Bung Karno, The Other Stories - Serpihan Sejarah yang Tercecer ( 2009) & Bung Karno vs Kartosuwiryo ( 2011 ). Jadi buku ini merupakan rangkuman dari isi ketiga buku terdahulu dengan penambahan beberapa judul baru serta revisi dan penyempurnaan di beberapa bagian
Seluruh tulisan dalam buku ini menyajikan warna-warni sosok Bung Karno, walau ada warna ideologis yang muncul dalam buku ini namun sebagian besar tulisan-tulisan dalam buku ini menampilkan sisi humanisme Bung Karno sehingga lewat buku ini kita akan menemui sosoknya yang manusiawi dibalik kebesaran namanya.
Buku ini dimulai dengan kisah Cicak dan Siul Perkutut di Penjara Banceuy hingga tentang Jembatan Semanggi, Simbol Persatuan, semuanya terdiri dari 80 tulisan tentang Bung Karno yang beberapa diantaranya belum terpublikasikan, seperti kisah-kisah Bung Karno saat Republik ini masih muda antara lain tentang mobil kenegaraan pertama RI yang ternyata merupakan mobil curian, pengalaman pertama Bung Karno pertama kali naik kuda saat ulang tahun pertama TNI (5 Oktober 1946), atau bagaimana Bung Karno nyaris dibantai tentara Nica jika tidak diselamatkan oleh tentara India. Dan yang mungkin tidak kita sangka, ternyata merancang gedung-gedung di berbagai kota, Bung Karno yang seorang Insinyur juga pernah merancang kolam ikan yang hingga kini masih terawat di Gedung Agung Jogya/Istana Jogya
Hubungan Bung Karno dengan para wanita juga terekam dalam kisah-kisah di buku ini, antara lain tentang ciuman pertama Bung Karno di usia 14 tahun kepada gadis Belanda Rika Meelhuysen, pertemuannya dengan selebriti Hollywood seperti Maryln Monroe dan Joan Crawford, hubungannya dengan Maria Callas, istri milyuner Onasis, pe-de-ka-te Bung Karno kepada Ibu Fatmawati, dan yang unik dan lucu adalah bagaimana Bung Karno memilih BH/bra untuk Fatmawati ketika berada di Amerika Serikat yaitu dengan cara menjejerkan pramugari toko untuk mencari ukuran bra yang sesuai dengan ukuran istrinya.
Hal-hal yang tampak sederhana dalam keseharian Bung Karno juga tak luput dari perhatian penulis, di buku ini kita akan mengetahui bagaimana gaya makan Bung Karno, cara pandang Bung Karno tentang pakaian, kegeramaran Bung Karno dalam menari Lenso, dan bagaimana cara Bung Karno berdoa.
Tidak hanya itu, hal-hal serius tentang bung Karno juga ada dalam buku ini seperti kisah Bung Karno dan lembaran Hitam Romusha dan Hari-hari Terakhir Bung Karno yang ditulis dalam 4 bagian dimana terdapat fakta-fakta yang menguatkan anggapan orang bahwa Sang Proklamator itu di hari-hari setelah kejatuhan hingga ajal menjemputnya menderita secara piskis dan fisik karena diasingkan, tidak boleh menerima tamu, dan ketika sakit hanya dirawat oleh seorang dokter hewan.
Walau buku ini memuat kisah-kisah kecil yang tercecer dari buku-buku sejarah namun buku ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Nilai tambah buku ini bagi pembaca umum adalah dimuatnya secara lengkap Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang kelak akan dijadikan sebagai hari Lahirnya Pancasila, lalu ada pula tulisan utuh Bung Karno berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang pernah dimuat di Suluh Indonesia Indonesia Muda, tahun 1926. Pidato dan tulisan Bung Karno tersebut mungkin selama ini hanya bisa dibaca di perpustakaan, karenanya pemuatan pidato dan tulisan tersebut dalam buku ini patut dihargari karena itu adalah sebuah dokumen sejarah yang perlu dibaca dari generasi ke generasi.
Bung Karno yang selama ini kita kenal sebagai tokoh nasionalis, ternyata juga seorang muslim yang taat dan banyak belajar banyak akan keislaman. Selain memikirkan bangsanya ia juga merindukan kemajuan Islam sebagai agama yang progresif dan penuh berkah di Indonesia, hal itu terungkap lewat keduabelas surat Bung Karno kepada Ahmad Hassan, guru agama Islamnya di Bandung pada tahun ( 1936-1937) saat bung Karno dalam masa pengasingan di Ende, Flores.
Dalam surat-suratnya selain mengungkapkan kerinduan Bung Karno agar Islam di Indonesia menjadi Islam yang progresif dan kerinduannya untuk banyak belajar dari literatur Islam ada hal menarik dalam salah satu suratnya , yaitu soal penyebaran misi Kristen di Flores. Alih-alih mengecam atau melawan misi Kristen, Bung Karno mengajak umat Islam untuk mengintrospeksi diri.
Kita banyak mencela misi tapi apakah yang kita kerjakan bagi upaya menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Bahwa misi mengembangkan Roomskatholicsme, itu adalah mereka punya "hal", yang kita tak boleh cela dan gerutui. Tapi "kita", kenapa "kita" malas, kenapa "kita teledor, kenapa "kita" tak mau kerja, kenapa "kita" tak mau giat?.... Kalau dipikirkan, memang semua itu "salah kita sendiri", bukan salah orang lain. Pantas Islam selamanya dihinakan orang (hlm 382)
Masih dalam hal ke-islaman Bung Karno, buku ini juga memuat surat sanggahan Bung Karno terhadap pihak-pihak yang menyatakan bahwa ketika di Ende, Bung Karno mendirikan cabang Ahmadiyah dan menjadi propagandisnya. Dalam suratnya itu Bung Karno menjawabnya secara tergas bahwa ia bukan penganut Ahmadiyah namun bukan berarti dia anti pati terhadap ajaran-ajaran Ahmadiyah.
Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid. Tapi ada buku-buku keluaran Ahmadiyah yang saya dapat banyak faedah daripadanya.
...........
Dan mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa fatsal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya "features" yang saya setujui; mereka punya nationalism, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadis, mereka punya striven Qur'an saja dulu, mereka punya systematische annemelijk making can den Islam (hlm 416-417)
Dalam pernyataannya ini kita bisa melihat bahwa Bung Karno adalah seorang intelektual yang terbuka terhadap berbagai pengajaran namun tidak mengenal kompromi menyangkut keimanannya terhadap agamanya yang ia yakini.
Masih banyak hal-hal menarik dari sosok dan kisah-kisah Bung Karno dalam buku ini. Semua dimensi dan warna warni kehidupan bung Karno terungkap dengan gamblang mulai dari hal-hal yang penting menyangkut cara pandang dan ideologi Bung Karno hingga hal-hal yang tampak sederhana dan remeh temeh, karenanya buku ini cocok sekali diberi judul Total Bung Karno - Serpihan Sejarah yang Tercecer.
Sayangnya ke 80 tulisan dalam buku ini tidak dikelompokkan kedalam bab-bab tertentu yang spesifik misalnya Bung Karno dengan wanita, Bung Karno dan Islam, Bung Karno dan anak-anaknya, dll. Selain itu penempatan urutan tiap tulisan dalam buku ini juga terkesan melompat-lompat. Padahal juga tulisan-tulisan dalam buku ini dikelompokkan berdasarkan tema atau disusun berdasarkan kronologis waktu tentunya hal ini akan memudahkan kita jika suatu saat kita ingin membaca kembali tulisan-tulisan yang kita perlukan dalam buku ini.
Terlepas dari hal di atas buku ini saya rasa layak dibaca oleh mereka yang ingin mengenal sosok Bung Karno baik dari kehidupannya maupun pandangan-pandangan politiknya. Gaya penulisan yang ringan disertai puluhan foto-foto pendukung membuat buku ini dapat dibaca oleh berbagai kalangan. Selebihnya saya pribadi sependapat dengan komentar Mahfud MD, ketua MA periode 2008-2013 tentang buku ini bahwa
“Buku TOTAL BUNG KARNO ini menjlentreh-kan kepada kita tentang Bung Karno sebagai manusia dengan banyak dimensinya yang selama ini masih banyak tercecer dan belum banyak dipublikasikan. Dengan membaca buku ini kita bisa terharu pada ketulusan Bung Karno, bisa tersenyum pada kejenakaan Bung Karno, bisa kagum pada kecerdasan Bung Karno, bisa sedih atas penderitaan Bung Karno, bisa kecewa atas sikap tertentu dari Bung Karno, bisa optimis atas masa depan dari visi dan langkah Bung Karno. Di atas semua itu, akhirnya, kita akan mendecak kagum sambil mengatakan, “Kita bangga pada Bung Karno dan kita rindu pada pemimpin seperti Bung Karno.”
0 komentar:
Posting Komentar